Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Sarjana Paripurna

Sarjana Paripurna
Ilustrasi: Shutterstock
A
A
A

SARJANA katanya kaum intelektual yang katanya memiliki kelas lebih tinggi dibandingkan siapa pun yang gagal mengecap manisnya sekat ruang kuliah. Namun yang terjadi, menurut Data tenaga kerja yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2015 tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan Universitas meningkat. TPT lulusan universitas pada Februari 2014 sebesar 4,31 persen, dan naik pada Februari 2015 menjadi 5,34 persen (Kompas.com/ 5 /5/2015).

Inilah fakta di lapangan, diwisuda sebagai pengangguran terdidik, ijazah untuk membukus terasi, minus mandiri, labil emosi, dan gagal menjadikan agama sebagai fondasi. Miris, tetapi inilah sepenggal cerita anak negeri.

Sarjana yang katanya memiliki kualitas unggulan, terbukti belum banyak dimiliki oleh negeri ini. Adanya semacam stigma yang menggangungkan kemampuan akademis juga menjadi malapetaka tersendiri. Hingga lahirlah puisi-puisi tentang si cumlaude yang gagal membawa diri.

Ada lagi yang selama menempuh pendidikan di universitas, sibuk mengikuti rapat di sana sini, bak pejabat publik yang memiliki jam terbang tinggi. Tetapi akhirnya, diwisuda sebagai sarjana abadi, bahkan ada yang terjerumus pada politik praktis. Padahal, seharusnya sebagai orang yang eksis, memiliki kemampuan baik memperioritaskan waktu yang dimiliki. Toh, semua orang diberikan waktu 24 jam, tidak lebih dan tidak juga kurang.

Kemudian, banyak juga memiliki kemampuan akademis mumpuni, dan berhasil mencapai pucuk kepemimpinan tertinggi dalam sebuah organisasi. Tetapi nihil kemandirian, gengsi berbisnis, meskipun bisnis itu tidak sulit. Seperti cukup menjual beberapa potong roti per hari, siapa tahu kelak menjadi pengusaha roti terbaik. Ah, lagi-lagi, seseolah berjualan itu "haram" bagi calon sarjana. Kata mereka, tugas kita menyelesaikan kuliah sebaik mungkin.

Pada akhirnya, setelah lulus kuliah menambah daftar panjang pengangguran, masih meminta-minta pada orangtua, pekerjaan belum jelas, mau membuka usaha tidak ada modal, penghasilan kalau pun ada pun pas-pasan. Jadi, jangankan berani berteriak besar-besar, perut sendiri lapar belum ada jalan keluar. Lagi, dan lagi kita terlalu gengsi ketika masih jadi mahasiswa.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement